Masjid Itu Masih Sepi

Print
Category: Bacaan Islami
Published Date Written by Super User
Apalah artinya seorang pemuda yang sering disebut Karmat, sebagai penterjemah bahasa Arab ke bahasa Indonesia pada sebuah penerbitan yang tidak terkenal adalah mata pencaharian sehariannya. Nama lengkapnya adalah Karmat Sudra Marga Mahesa, yang suka marah kalau dipanggil Sudra karena dianggapnya terlalu menyalahi komitmen kemerdekaan Amerika yang sering didengungkan seorang prajurit Perancis oleh Lafayetee: Liberte, Egalite, Fraternite. Atau orang modern bilang, itu sangat menyalahi Hak Asasi Manusia karena kasta sudah terhapuskan.

Apalah artinya sebuah nama bila mendadak Dramawan Agung dari zaman Pertengahan, Shakespeare disangkal oleh umpatan Karmat, ketika salah seorang kawan memanggilnya dengan Mahesa.

“Edan!” makinya, meski ia punya nama mahesa bukan berarti ia seperti kebo. Ia pernah menusuk lambung Janer (tetangganya) dengan pisau dapur tatkala meledek dirinya dengan nama Dr. Guyup Mahesa, alias Doktor kumpul kebo, sehingga pledoi yang dikemukakan saat persidangan kepada sang Hakim sebanyak tiga ratus halaman selalu berkisar penerjemahan kalimat: La tahtaqir Man dunaka falikulli syai’in maziyah.

“Orang itu gila, masa aku dipanggil Doktor Guyup Mahesa, emangnya penghalusan kata bahasa Indonesia itu sudah tidak cukup puas menjajah etika, politik, ekonomi dan lain-lain..., itu penjajahan dan jelas diharamkan oleh preambule. Itu lihat pelacur dijajah oleh penghalusan kata dengan Wanita Tuna Susila, sekarang dihaluskan lagi dengan Pramuselangkangan, wah..., wah..., aku kena getahnya...” protesnya dalam wawancara sama wartawan “Pos Kotak” saat ia berjalan diapit petugas menuju mobil tahanan.

Sedari kecil Karmat memang jadi bahan ledekan kawan-kawanya, hingga selama hidupnya jadi rendah diri dan bergelut dengan watak pendendam, tertutup, dan pendiam. Padahal orangnya cerdas dan selalu ranking satu dalam sekolah, pintar berbagai bahasa, seperti ‘percakapan burung-burung’ yang telah dinashkan dalam Al-Qur’an. Bahasa Arab adalah bahasa kebanggaannya karena ia yakin bahwa bahasa Arab adalah bahasa Sorga, selain demikian ia suka dihampiri para Turis dari Perancis untuk konsultasi berbagai pengetahuan wisata. Pergaulannya luas karena bahasa, bukan karena watak inferior yang dimilikinya.

Klaim masyarakat terkadang sadis, dan membentuk kepribadian, sehingga ia tidak mau keluar rumah, kecuali apabila dinas ke kantor, ataupun ke masjid. Orang-orang yang ingin memanfaatkan dirinya harus datang ke rumah, itupun harus diketahui, siapa dulu orangnya, kalau orang sekampungnya, siapa namanya. Ia sangat antipati dengan tetangganya yang bernama, Jagal, Lahap, Sopiyan, Abdullah Ngubai yang namanya mirip musuh-musuh nabi.

“Oalah... Ya Gusti, kenapa orang-orang itu ada di dunia. Laknatullah, laknatullah...” Karmat mengeluh di tengah-tengah malam tatkala rembulan redup penuhi hati. Tangisnya meledak melihat pacoban hidup yang memenuhi agenda hariannya.

***

Tepat pada hari Ahad, Karmat bebas. Tanpa sanak saudara ia pulang sendirian. Para tetangga menyambutnya dengan memalingkan muka. Hal itu sudah tidak lagi masuk dalam perbendaharaan perasaan. Anggap saja suatu yang terbaik.

“Lho..., mas Karmat sudah pulang to...,” sapa bu Makita sinis,

“Kata bapak kalau orang pulang dari penjara namanya residivis ya...”

Gelegar! Emosi Karmat tiba-tiba pecah, tapi ia hanya bisa menampakkan dengan merah padam mukanya dan senyum kecut sambil lalu. Badannya terhuyung-huyung menahan amarah. Dengan cepat-cepat ia hampiri pintu rumah kontrakannya, lekas ia buka untuk mencari botol- botol yang tidak terpakai lagi sebagai kompensasi dari kemarahan yang terpendam.

“Prang!” suara botol kosong membentur tembok belakang rumah.

Dengan nafas ngos-ngosan ia lempar lagi botol-botol yang lain, sampai reda dan lemas. Ia bersandar di dinding sambil melihat tumpukan botol-botol yang ia persiapkan untuk mencairkan emosi-emosi. Keesokan hari ia mencoba ke kantor penerbitan tempat dulu ia bekerja, menghadap direktur dan melaporkan bahwa ia akan kembali bekerja seperti biasa. Dengan hati-hati Karmat mulai merangkai kalimat agar Direktur yang selalu pasang angker itu bisa tersenyum dan lebih-lebih mau menerima kembali.

“Kau Karmat, Kapan Kau bebas” Ujar Pak Sitompul sambil menempuk bahunya.

“Kemaren Pak”

“Kau mau kerja lagi di sini?”

“E..e..., Iya Pak”

“Bagus, sekarang juga kau bersihkan tempatmu yang dulu. Tengok itu, kotor sekali sampai bau apek”.

Tanpa sadar Karmat tiba-tiba memeluk Pak Sitompul dan menangis terharu,

“Aduh, bagaimana caranya saya bilang terimakasih sama bapak, bagaimana, pak...”

“Sudahlah kau Karmat, serahkan saja kapada yang Kuasa, nasib itu ada di tanganNya, yang penting kau kerja di sini".

“Terimakasih pak, saya insya Allah, akan bekerja sebaik-baiknya”

“Iya..., ya..., aku percaya, selama ini kau memang kerja baik, tanpa kau bilang aku yakin kau kerja baik-baik”.

***

Sekarang Karmat sudah resmi dinas di Penerbitan itu, setiap harinya bertumpuk-tumpuk makalah-makalah Bahasa Arab, ia terjemahkan, koran-koran, bahkan Lailat Az Zifaf, buku kegemaran Kiai Rozikin Ozi Aje, tak luput dari garapannya. Ia tak peduli lagi dengan julukan baru yang diberikan masyarakat dengan Resi Karmat singkatan dari Residivis. Ia sudah tuli dengan cemoohan, karena ia sudah bahagia dengan kesibukannya, selain itu hobi memecah botol sudah mulai berkurang.

Status penterjemah sudah cukup baginya, walau masyarakat lebih suka memanggilnya dengan Sang Resi. Siklus kegiatan antara rumah, kantor dan masjid cukup baginya untuk memenuhi seluruh kebutuhan hidup. Istirahat, kerja dan berdoa adalah kehidupan yang paling vital. Mau apa lagi, ceramah tidak bisa, ngajari ngaji bahasa Inggris sistim gandulan kayak ngaji kitab ‘Uqudulijain kala masih jadi santrinya mbah kiai Kasilan, tidak diterima masyarakat. Apa lagi? mendingan baca cerpen, sambil korek-korek kuping dengan bulu angsa di rumah, menerjemah di Kantor dan memperbanyak doa di masjid. Satu-satunya sahabat yang ada di kampungnya, adalah Marten, tukang Azan dan juru kunci Masjid An Najah, sebuah masjid yang terletak di tengah-tengah padatnya kampung Karmat. Masjid yang cukup besar, biasanya penuh setiap kali sholat Jum’at, namun sangat longgar setiap Isya’, Subuh, Dzuhur dan ‘Ashar. Kalau sholat Magrib mendingan, ada dua shaf jama’ah. Pada dasarnya suara Karmat merdu, jika mengumandangkan azan, tapi Marten biasanya sewot kalau Karmat suatu kali minta untuk azan.

“Ah..., nggak usahlah Mat..., aku takut Ustadz Mazdu’ marah-marah sama aku, aku takut dipecat” kata Marten, “Beliau bilang kalau beliau nggak kuat menggaji dua muazin”.

“Kau jangan prasangka begitu Mar..., aku ini ikhlas wal afiat lho, aku cuma pingin azan saja, nggak butuh duit”.

“Bukan begitu Mat, aku percaya kamu nggak butuh uang, tapi...”

“Ah..., nggak jadi..., aku nggak jadi kok, takut aku jadi riya’. Sudahlah aku sholat sunat dulu..., nanti kau saja yang azan”

“Sorry ya..., Mat, bukan aku nggak boleh, cuman itu...tu, ustaz yang pernah belajar di Mesir, bisanya cuman marahin melulu, habis itu kerjanya promosi ziarah kubur kanjeng Husein, atau ziarah ke tempatnya Imam Syafi’i, di setiap pengajian mingguan, emangnya kuat ziarah sampai Mesir”

“Ah...kamu itu nggunjing orang nggak boleh, lagian apa salahnya sih ngajak orang dalam kebaikan. Kamu itu ..., lihat orang senang nggak boleh, makanya kalau sekolah yang bener biar bisa bikin travel, nggak kayak kamu. Sudah azan dulu sana!”

Marten memang lugu, walaupun pernah jadi bintang film, yang pernah shooting sebagai figuran, Marten cukup bangga. Wajahnya seperti Roy Marten namun jika dilihat lekat-lekat wajahnya lebih condong mirip Presiden Nilson Mandella. Ia suka sekali dijuluki dengan Marten Mandella, karena Nilson Mandella itu orang hebat pernah dipenjara kayak Karmat. Makanya ia kagum juga sama Karmat dan pingin sekali Marten merasakan dipenjara, tapi ia takut sama Polisi. Kemarin ia mencoba maling ayam di peternakan milik orang cina, akan tetapi alangkah terkejutnya ketika diintip dari belakang ternyata ada Pak Guncil yang jadi Polisi Militer, ia sempat bingung, peternakan ayam ini milik Kopral Guncil atau milik Cik Wan. Akhirnya ia balik dengan tangan hampa.

Pada hari-hari menjelang PEMILU, memang banyak sekali penyelenggaraan demonstrasi, para buruh yang terkekang pada turun jalan, biasanya para mahasiswa yang suka sekali ngutak-atik kesenjangan, sangat rajin unjuk rasa. Kesempatan ini takkan lepas dari perhatian Marten, ia memang melihat kesenjangan tapi tidak bisa membuktikan. Ia mencari peluang untuk ikut unjuk rasa, setiap kali melihat selebaran ia ambil, kalau-kalau ada kabar tentang unjuk rasa.

“Kapan ya... ada demonstrasi...” batin Marten, sambil mencoba jaz dan dasi, dan kepalanya diikat kain yang bertuliskan “Hidupkan Demokrasi”.

Ia pandangi cermin lama-lama.

“Ah... sudah pantas...”

“Karmat..., Demokrasi itu apa sih, kok mahasiswa itu suka teriak : ‘Demokrasi!, Demokrasi, sambil mengepal-ngepalkan tanngannya?” tanya Marten seusai shalat Isya’.

“Menurut cerita yang sering aku pelajari di kampus, Demokrasi itu banyak macamnya, ada demokrasi liberal, demokrasi Terpimpin, demokrasi pancasila, demokrasi Islam, pokoknya banyak. Ya.. berhubung aku jarang masuk kuliah, aku nggak tahu, setahuku dosen yang paling baik adalah Pak Sitompul, direkturku itu."

Mendadak Karmat seperti dapat ilham, “Oh..., begini kalau nggak salah kata Sitompul, demokrasi itu negara terserah rakyat, tapi kalau demokrasi menurut kenyataannya itu negara terserah penguasa,... katanya....itu yang dia lihat lho Mar bukan aku, betul ini”.

“Hus...jangan keras-keras, nanti kamu ditangkap lho, ini menjelang PEMILU, biar aku saja yang bilang nanti, pas kalau ada demonstrasi”

“Ah... terserah... aku nggak mau ikut-ikut, yang penting aku selamet, aku nggak mau neko-neko, kayak nggak tahu aku saja, orang-orang sudah kadung membenciku”

“Termasuk aku?”

“Ah...entahlah...,” Karmat menunduk sendu.

“Lho..., kamu jangan begitu, aku nggak pernah benci sama siapa-siapa, apalagi sama kamu, aku malah sebaliknya, kagum sama kamu, kamu itu pemberani sampai-sampai mau dipenjara, aku pingin lho kayak kamu”.

“Eh! kenapa sih sekarang kamu suka tanya demonstrasi”

“Enggak...ah..., aku...aku... aku pingin kayak Mandella”

“O...oo...” Karmat mengambil sandal dan bergegas pulang ke rumah.

********

“Hidupkan Demokrasi!, Hidup-kan Demokrasi!,” teriak Marten di tengah-tengah lautan para pengunjuk rasa, yel-yel keadilan seperti koor perjuangan, keadilan seperti lautan yang luas dan sukar untuk diterjemahkan.

“Bersihkan korupsi, bersihkan kolusi, hilangkan nepotisme” teriak Marten menirukan orang- orang yang lagi kalap. Lalu ia ikut naik mimbar dan mengambil corong.

“Nyanyi...!,nyanyi...!, suarakan kebenaran...!” teriak massa. Marten tersadar bahwa ia sekarang di gelombang massa, ia nggak tahu apa yang harus diperbuat di saat corong di genggamannya.

“Nyanyi...! Serukan keadilan!”

Keringat Marten bercucuran, apa yang harus diperbuat.

“Eh..., cepat nyanyi atau baca puisi!” bisik seseorang ada disampingnya. Tanpa sadar Marten menyanyikan lagu kesukaannya pada waktu TK:

“Bebek, bebekku, mari kemari, ikutlah aku ke kebun bibi....”

“Hu.....huu..., lari....lari ... ada polisi...lari..., bubar..., ada tentara...., pakai panser,” seru massa.

Semuanya lari tunggang-langgang diantara mereka ada yang selamat, sebagian mereka ada yang apes, sebab kena pentungan petugas, dan digiring ke Posko Kewaspadaan Nasional. Sesampai di Posko mereka mulai diperiksa satu-satu, ada yang dipukuli, ada yang disuruh ngaku, ada yang teriak menangis, ada yang lantang, ada yang diseret di penjara.

Tubuh Marten menggigil ketakutan. Matanya melirik-lirik ingin tahu bentuk penjara, tapi...keringat dingin menguasai rasa ketakutannya. Marten, antara mau cari pengalaman dan juga mau pingsan.

“Hei, siapa namamu?” Tanya polisi.

“M...m...mm...Marten Pak”

“Kuliah di mana...?”

“S..ss..ss..Saya tukang azan, itu pak... di..ddddi Mesjid An Najah...pak..., Pengajiannya.... Ustadz Mazdu’, pak...., benar pak...sssumpah pak, saya nggak salah, saya cuman disuruh nyanyi...., saya nggak tahu...., jangan dipukul pak...ssssakit...”

“Lho! kamu anak buahnya Mas Mazdu’?, kenapa kamu ikut-ikutan demonstrasi, sana pulang sana, memalukan, jangan bilang-bilang kalau kamu saya pulangkan, dan jangan sekali-kali diulangi lagi ikut-ikutan demonstrasi, biar orang gendeng saja yang teriak-teriak” kata seorang anggota ABRI yang ternyata saudaranya ustadz Mazdu’.

“Lho kok pulang..., sssaya pingin dipenjara Pak”

“Kamu itu ada-ada saja, sana pulang, sudah saat waktu ‘Ashar, nanti telat azannya”

“I..iya..., tapi...nanti...balik lagi nggak pak?”

“Oo...nih sedikit buat ongkos naik bis kota, sana pulang nggak usah balik lagi”

“M..mmm...makasih Pak”

***

Sudah seperti biasanya, Karmat beranjak ke mesjid. Dengan memakai peci dan sarung, ia mulai mendendangkan zikir, seirama dengan langkahnya.

“Mat..., tolong kamu saja yang azan, saya pulang dulu” sapa Marten di tengah jalan sambil terengah-engah.

“Dari mana kamu Mar...,”

“Nih kuncinya”

“Lha iya..., masjid kok ya... dikunci..., orang mau ke rumah Tuhan kok dikunci, seharusnya dibuka 24 jam. Aku jadi sedih. Coba bayangkan kalau orang mau sholat malam, masa dikunci. Sini kuncinya! Nggak usah dikancing pintu masjid itu. Biar aku buka saja".

“Ya terserah, asal jangan ketahuan Ustadz Mazdu”.

“Boleh..., boleh...., tapi...” Marten berlalu.

Sembari bertanya-tanya dalam hati, Karmat masuk ke Mesjid, ia kumandangkan azan dengan suara merdu, menggantikan kebiasaan Marten. Ia nggak tahu kenapa Marten tiba-tiba berubah, dulu ngotot megang kuncinya sekarang malah dikasihkan.

“Ah..., biarlah..., itu urusan orang lain” batin Karmat, sambil meneruskan wirid shalawat Nariyahnya. Kini Karmat jadi lebih leluasa ke Mesjid, berlama-lama i’tikaf sambil mendengung kecil wirid-wirid. Bila malam-malam tanpa harus mencari Marten, ia bisa buka pintu sendiri, bahkan ia nggak mau lagi mengunci pintu mesjid itu.

“Masa masjid kok dikunci, wah..., bener-bener pergeseran nilai. Gimana nanti bila ada yang pingin sholat, atau i’tikaf, atau istirahat atau kegiatan yang lain susah...., mengamalkan hadits nabi ‘Rojulun qalbuhu mu'allaqun bil Masjid’ susah..., jadi orang modern susah. Masjid dibangun besar-besar, yang shalat cuman dua tiga orang, emangnya masjid itu kayak gereja yang hanya dikunjungi setiap minggu sekali, dasar "kristenisasi budaya...” omel Karmat dalam hati sambil memandangi masjid sejenak lalu ia tinggalkan untuk istirahat di rumah menunggu subuh.

Matahari pagi menyengat, membuat Karmat gelagapan. Dilihat jam sudah menunjukkan jam enam seperempat.

“Ya...Allah! kenapa aku bangun terlambat”, sesegera mungkin ia mengambil wudlu, tak lupa meraih peci dan menggelar sajadah. Ia menunaikan shalat Subuh di rumah. Seribu penyesalan ia tangisi dengan doa, seribu kekecewaan ia tumpahkan dengan air mata.

“Ya...Allah! kenapa aku laksana terbius seperti ini hingga aku tak tahu lagi ganjaran apa yang akan kuperoleh... Oh Tuhan, my God, Ya Allah... ampuni hambaMu, aku bagai Abu Nawas yang sama sekali tak kuat dengan gelombang siksa neraka, dan kelemahanku inilah yang menjadikan tak patut masuk ke gerbang istana firdaus-Mu. Oh Tuhan, benar... dengan tulus aku mohon ampunan, dosa-dosaku penaka hamburan debu yang terbang hinggapi nafsu... Tuhan... meledak tangisku... membuat kebodohanku muncul..., tiada lagi yang mampu melindungi alam semesta kecuali diriMu".

“Karmat!!!”

“Ya Allah..., kekasihku..., kurajuk diriMu untuk penuhi ampunanku”

“Resi Karmat!!!”

“Ya... Rabbi...dengan keadilanMu, terimalah taubatku”

“Hai...!!! Karmat keluar kau...”

“Ya...Rahman...Ya Rahim..., KasihMu tak terhingga, tujuh samudra... takkan bisa menandingi limpahan sayangMu, hambaMu mohon maaf...”

“Prak...” suara pintu didobrak dan orang-orang mulai masuk ke rumah.

“Ya...Hayyu.. Ya Qayum..., kurayu asma-Mu, agar bisa tentramkan hatiku, diriku hancur kala aku lengah dengan janji-Mu. Masjid itu kayak gereja yang hanya dikunjungi setiap seminggu sekali....."

“Ini malingnya...., ayo kita pukulin..."

Pura-pura berdoa lagi “Ya...Allah telah datang bala-ganjaranMu”

“Bug...!!!, bug...!!!, plak....!!!”

“Alhamdulillah, ternyata Kau dengar suara hambaMu, karena aku lebih takut dengan siksa JahimMu”

“Ayo..., Resi...!, Ayo...Sudra!, ngaku..., mana tape recorder..., mana pengeras suara..., kau sembunyikan di mana kotak amal. Jangan pura-pura diam..., ayo.., hei maling..., mana...” teriak orang-orang sambil menggebuki Karmat.

“Seret dia!! Bawa ke kantor Polisi....”

“Pukuli dulu..., sampai setengah mampus”

“Iya. Pukuli baru serahkan ke Polisi”

“Ya...Allah....” desis Karmat.

“Dia tetap diam..., nggak mau ngaku, kasih bogem dulu...”

“Ya...Allah...Allah..., Ahad..., Ahad...., Ahad....”

Karmat mendesis sambil membayangkan Bilal disiksa oleh Umayah, kesadarannya telah hilang, darah segar mengalir membanjiri seluruh tubuhnya, namun ia seperti terhibur dengan senandung dzikir itu, sampai tidak tahu di mana ia berada....

***

“Karmat..., maafkan Aku...”, seru Marten sembil melelehkan air mata,

“aku menyesal..., dan nggak menyangka sampai dipukuli sekejam itu. Aku kira jalan itu yang dapat mengantar aku ke penjara, tapi aku takut dipukuli hingga aku bilang yang nyolong adalah kamu, lalu mereka melabrak rumahmu, mereka pukuli kamu, dan barang-barang seisi rumahmu”.

“Yang salah aku Marten. Aku telat shalat Subuh” elak Karmat dari balik jeruji.

“Uh… uk.... Bukan, itu salahku... kenapa aku penakut..., walau ingin rasanya aku seperti Mandella yang pernah merasakan penjara, seperti kamu Karmat. Kata orang penjara itu untuk mukmin dan sorga bagi orang kafir” dalih Marten tambah sesenggukan.

“Hus! Emangnya orang yang beriman suka dipenjara..., bagaimana bisa maju, Marten, bagaimana bisa kerja, bagaimana bisa haji...?”

“Tapi orang hebat belajarnya di penjara!”

“Itu Soekarno, Hatta, Mandella..., dipenjara bukan karena nyolong pengeras suara mesjid..”

“Oh..., maafkan aku Karmat...aku nggak tahu, aku mau ngaku biar dipenjara..., disana aku bisa belajar, dan kamu bisa pulang..., aku ingin pinter seperti Mandella. Ya...Marten Mandella...Karmat..., maafkan aku... Karmat”

“Yah..., pingin sekolah gratis..., nyari penjara..., eh..kadang-kadang penjara bisa menelurkan alumnus yang besar dan hebat...” Karmat sejenak menengok kantor Polisi, tak sadar ia geleng-gelengkan kepala melihat gigihnya usaha dan luhurnya cita-cita Marten. Ia tinggalkan penjara setelah tak terbukti kesalahannya, Ia tinggalkan Marten yang kini meringkuk di penjara sesuai dengan pengakuanya.

“Semoga kau cepat pandai dan berani, Marten...!”

***

Malam-malam Karmat mulai bertandang ke Masjid, dingin menyelimuti tubuhnya, sepi..., tak ada orang..., dan Masjid itu terkunci..., tak ada lagi yang ia cari..., Marten yang dulunya setia membukakan pintu kini tak tampak lagi. Ya! masjid itu terkunci, di malam-malam sunyi..... Masjid itu tak akan berfungsi......